Jumat, 22 Maret 2013

Standar Pendidikan


Kehadiran  Peraturan Pemerintah No. 19  tahun 2005  tentang Standar Nasional Pendidikan  dapat dipandang sebagai  tonggak penting untuk menuju pendidikan nasional  yang terstandarkan. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut dikatakan bahwa Standar Nasional Pendidikan (SNP) adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan lingkup terdiri 8 standar, yaitu:  (1)  standar isi;  (2) standar proses; (3) standar kompetensi lulusan; (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan; (5) standar sarana dan prasarana; (6) standar pengelolaan; (7) standar pembiayaan; dan  (8) standar penilaian pendidikan
Dilihat dari fungsi dan tujuannya,  Standar Nasional Pendidikan memiliki fungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu, dan bertujuan untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Dalam Peraturan Pemerintah  ini terdapat pasal-pasal yang mengamanatkan perlunya dibuat Peraturan Menteri sebagai penjabaran lebih lanjut  dari delapan standar pendidikan dimaksud. Hingga akhir tahun 2009 pemerintah melalui Mendiknas (era kepemimpinan Bambang Sudibyo) telah berhasil menerbitkan sejumlah PERMENDIKNAS yang dijadikan sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pendidikan.
Tulisan ini tidak bermaksud menganalisis secara detail  isi yang terkandung dari setiap peraturan yang ada, tetapi  saya hanya ingin menggambarkan  secara garis besarnya keterkaitan dan interdependensi kedelapan standar pendidikan, khususnya dalam konteks sekolah, karena kedelapan lingkup  standar pendidikan ini pada dasarnya tidak berjalan sendiri-sendiri, tetapi merupakan sebuah rangkaian yang utuh dan  saling terkait.
Standar Nasional Pendidikan
Melihat gambar di atas, dari kedelapan lingkup standar pendidikan,  Standar Kompetensi Lulusan (I) seyogyanya dapat dijadikan sebagai  titik sentral sekaligus inti dari seluruh standar pendidikan yang ada. Dengan demikian, segenap aktivitas pendidikan dari standar pendidikan lainnya harus tertuju pada pencapaian Standar Kompetensi Lulusan.
Untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan, terdapat wilayah yang bersentuhan langsung yang berada pada aras A,yaitu: Standar Pendidik (II.a)Standar Isi (III);  Standar Proses (IV); dan  Standar Penilaian (V). Pada aras A ini, yang menjadi komponen terpenting adalah Standar Pendidik. Melalui pendidik yang terstandarkan diharapkan dapat menjalankan komponen-komponen yang berada pada aras Asecara standar.
Aras A (key are pembelajaran) tidak akan berputar dengan baik apabila tidak ditopang oleh komponen-komponen yang berada  pada aras B  (key are manejemen), yaitu: Standar Kepala Sekolah (II.b), dan Standar Tenaga Kependidikan (II.c), Standar Pengelolaan (VI)Standar Sarana dan Prasarana (VII) danStandar Pembiayaan (VIII).
Dari berbagai komponen yang berada pada aras B , saya melihat tumpuan harapan terletak pada Standar Kepala Sekolah.  Melalui Kepala Sekolah yang terstandarkan  diharapkan dapat menjalankan komponen-komponen yang berada pada aras B dan jugaaras A, sehingga pada akhirnya dapat berdampak pula pada bergeraknya inti  pendidikan yakni pencapaian SKL.
Dari seluruh rangkaian standar pendidikan sebagaimana tampak dalam gambar di atas, terus  terang saya mengalami kesulitan untuk memposisikan Standar Konselor  (Permendiknas No. 27 tahun 2008). Secara formal konselor digolongkan sebagai pendidik, tetapi keberadaannya tidak mungkin untuk disentuhkan langsung dengan SKL, karena dalam Permendiknas No. 23 tahun 2006 sama sekali tidak disinggung SKL yang bisa dicapai melalui pelayanan konseling. Sepengetahuan saya,  Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia telah menawarkan Draft Standar Kompetensi Kemandirian (SKK) yang merupakan SKL-nya  pelayanan konseling di sekolah, namun entah kenapa hingga saat  ini tampaknya pemerintah belum tergoda untuk mensahkannya sebagai sebuah kebijakan resmi.
Posisi pengawas satuan pendidikan mungkin perlu dibuat Aras C, dimana kedudukannya  dapat diletakkan bersama-sama dengan Standar Pengelolaan Pemerintah Pusat (PP No 19 pasal 60) dan Standar Pengelolaan Pemerintah Daerah (PP No 19 pasal 59) yang akan menopang  pergerakan komponen-komponen yang berada pada  Aras B mau pun Aras A.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang ada,  kita harus  akui bahwa era kepemimpinan Bambang Sudibyo bisa dipandang telah berhasil meletakkan dasar-dasar bagi upaya standarisasi pendidikan nasional.  Kita berharap pada era kepemimpinan pendidikan sekarang ini kiranya dapat melahirkan berbagai kebijakan dan regulasi  yang  semakin dapat menyempurnakan sekaligus memperkokoh upaya standarisasi  pendidikan nasional yang telah dirintis sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar