Jumat, 22 Maret 2013

Artikel Pendidikan : Karakter Manusia Spiritualistik


PENDIDIKAN karakter sejatinya peduli pada dimensi-dimensi spiritualistik. Itu karena, pemaknaan terhadap keagungan karakter manusia mustahil dilepaskan dari dimensi-dimensi spiritualistik. Pembangunan karakter bermula dan bersumber dari kebangkitan spiritualistik dalam diri manusia. Pendidikan karakter pun niscaya membentuk kesadaran, bahwa manusia adalah mahluk spiritualistik. Dalam bahasa Jalaluddin Rumi, manusia bukan mahluk bumi dengan pengalaman langit, tapi mahluk langit dengan pengalaman bumi.

Manusia spiritualistik yang dimaksudkan dalam tulisan pendek ini adalah manusia yang independen dari keterbelahan personalitas. Mengacu pada perspektif agama-agama, manusia eksis dalam dua kategori kehidupan, yaitu kehidupan dalam realitas dunia dan kehidupan dalam realitas akhirat. Dua kategori kehidupan itu tersambungkan satu sama lain, tak ada keterpisahan di antara keduanya. Keagungan karakter manusia sepenuhnya berkelindan dengan rentang hubungan dunia-akhirat.Itulah mengapa, proses pendidikan karakter tertantang mengadopsi secara elegan prinsip-prinsip kebajikan hidup umat manusia dalam perspektif akhirat, persis sebagaimana dinubuahkan oleh agama-agama.

Telah menjadi aksioma umum, bahwa karakter menentukan perbuatan dan karya seorang manusia, yang dirasakan langsung maupun secara tidak langsung oleh realitas hidup dunia. Baik dan buruknya perbuatan maupun karya manusia di dunia ditentukan oleh karakter yang bersemayam dalam diri sang manusia. Bukan hal aneh jika kemudian muncul perbedaan watak, antara "karakter buruk" di satu sisi, dan "karakter baik" pada lain sisi. Tugas pokok pendidikan adalah purifikasi jiwa manusia, yaitu meminimalisir karakter buruk dan memaksimalisasi karakter baik. Pada titik ini, pendidikan diniscayakan mampu meniadakan sikap-sikap rakus di kalangan peserta didik, berdasarkan argumen sebagai berikut.

Pertama, rakus atau kerakusan merupakan perwujudan paling gamblang karakter buruk manusia. Bukan saja ajaran semua agama mengecam rakus dan kerukusan sebagai sifat hidup yang bertentangan dengan prinsip hidup akhirat. Lebih dari itu, rakus dan kerakusan merupakan sumber timbulnya malapetaka kehidupan umat manusia di dunia. Merujuk ucapan humanis India Mahatma Ghandi, Planet Bumi sesungguhnya menyediakan ketercukupan bagi umat manusia untuk hidup normal dan terhormat. Tapi, rakus dan kerakusan mencetuskan kemiskinan dan ketidakadilan, serta pertumpahan darah dalam kecamuk perang.

Kedua, rakus dan kerakusan merupakan karakter buruk yang melumpuhkan kemampuan manusia mengembangkan imajinasi. Sementara imajinasi itu sendiri merupakan sumber mata air kecemerlangan yang merangsang manusia untuk saksama mengembangkan kreativitas dan inovasi. Tatkala rakus dan kerakusan benar-benar mendikte hayat seorang manusia, maka serta-merta terhapus gambaran tentang kemuliaan hidup di akhirat. Padahal, kemuliaan hidup di akhirat merupakan puncak dari segala imajinasi yang bersemayam dalam diri manusia.

Pendidikan karakter untuk terbentuknya manusia spiritualistik lalu memiliki kejelasan posisi, yaitu mencerabut hingga ke akar-akarnya sifat-sifat rakus dalam jiwa manusia. Pendidikan karakter tidak memberi ruang sedikit pun terhadap kemungkinan tumbuh berkembangnya sifat-sifat rakus dalam jiwa manusia. Melalui pendidikan karakter, rakus dan kerakusan dihalau menjauh agar tidak mendeterminasi perkembangan kebudayaan dan tidak mendistorsi dinamika peradaban. Proses edukasi ke arah tercerabutnya rakus dan kerakusan sepenuhnya dimaksudkan menyemai kehidupan di Planet Bumi dengan karakter manusia spiritualistik.

Sebagai konsekuensinya, pendidikan karakter membentuk pemahaman: kerakusan orang-orang beriman bisa lebih parah ketimbang kerakusan orang-orang musyrik yang hidup tanpa iman. Pendidikan karakter merupakan upaya monomental mewujudkan keimanan tanpa kerakusan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar